PEMBIAYAAN MUSYARAKAH
Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah :
Hukum Perbankan Syari’ah
Dosen Pembimbing :
Alwi Muzaiyin, M.E., Sy.
PENYUSUN:
MUHAMMAD ISNAN : 130800058
INSTITUT AGAMA ISLAM TRIBAKTI (IAIT) KEDIRI
FAKULTAS SYARIAH
MANAJEMEN PERBANKAN SYARIAH (MPS) SEMESTER V
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang masalah
Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk berusaha, termasuk
melakukan kegiatan-kegiatan bisnis. Dalam kegiatan bisnis, seseorang dapat merencanakan
suatu dengan sebaik-baiknya agar dapat menghasilkan sesuatu yang diharapkan,
namun tidak ada seorangpun yang dapat memastikan hasilnya seratus persen. Suatu
usaha, walaupun direncanakan dengan sebaik-baiknya, namun tetap mempunyai
resiko untuk gagal. Faktor ketidakpastian adalah faktor yang sudah menjadi
sunnatullah.
Total pembiayaan di perbankan syariah masih didominasi oleh jual-beli (murabahah)
sedangkan skim bagi hasil masih rendah. Rendahnya pembiayaan bagi hasil (musyarakah)
jelas bukanlah kondisi ideal yang diinginkan, karena sektor riil dapat digerakkan melalui pembiayaan dengan prinsip bagi hasil.
Prinsip bagi hasil ini merupakan salah satu prinsip utama dalam kegiatan
ekonomi berbasis syariah.
Sebenarnya peluang bank syariah untuk meningkatkan kinerja dan usahanya ada
pada pengembangan produk pembiayaan bagi hasil, sekaligus sebagai tantangan
bagi bank syariah dalam meningkatkan efektivitas kinerjanya. Bank-bank syariah
seharusnya selain membuat strategi khusus agar porsi pembiayaan bagi hasil
meningkat juga harus disertai upaya-upaya peminimalisasian kendala-kendala yang
dihadapi.
Dalam tulisan ini, penulis menjabarkan tentang betapa
pentingnya tantangan dalam pengembangan perbankan syariah antara lain melalui
pengembangan produk pembiayaan khususnya musyarakah, jadi akan dilihat
Bagaimana transaksi skim musyarakah pada perbankan Syari’ah? Dan apakah pelaksanaan transaksi skim
musyarakah pada Bank Syari’ah tersebut
telah sesuai dengan langkah-langkah yang ditetapkan secara teoritis sehingga
dapat diperoleh hasil seperti yang diharapkan?
Salah satu paradigma keberadaan bank syariah adalah dapat memberikan
sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui pembiayaan ini bank
syariah memposisikan diri sebagai mitra bagi nasabah, sehingga hubugan bank
syariah ini tidak lagi antara kreditur dan debitur melainkan hubungan
kemitraan.
- Rumusan
Masalah
ü Apa yang dimaksud dengan musyarakah?
ü Bagaimanadasar hukum, Rukun dan
Syarat Musyarakah?
ü Apa saja jenis Musyarakah?
ü Bagaimana mekanisme pembiayaan musyarakah dalam
perbankan syari’ah?
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian Pembiayaan Musyarakah
Musyarakah berasal
dari kata syarika yang berarti
persekutuan.[1] Secara etimologi as-syarikah atau al-musyarakah mengndung makna al-ikhtilāt
wa al-imtijāz yaitu percampuran. Dalam lisan al-’Arab disebutkan as-syirkah dan as-syarikah mengandung makna yang sama mukhalaṭatu as-syarikaini (bercampur atau bergabungnya dua orang)
untuk melalukan kerja sama.[2]
Menurut ulama
Malikiyah, Syirkah (musyarakah)
adalah suatu izin untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama
terhadap harta mereka. Dalam mazhab Syafi’i dan Hambali diuraikan bahwa syirkah
adalah hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka
sepakati. Sedangkan mazhab Hanafi mendefinisikan syirkah yang berupa akad yang
dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama dengan modal dan keuntungan.[3] Dikemukakan pula
dengan adanya akad syirkah yang disepakati kedua belah pihak, maka semua pihak
yang mengikat diri berhak bertindak hukum terhadap harta syarikat itu dan
berhak mendapatkan keuntungan sesuai yang disepakati.[4]
Fatwa Dewan Syariah
Nasional Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000, tanggal 13 April 2000, bahwa kebutuhan
masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan usaha terkadang memerlukan dana
dari pihak lain, antara lain melalui pembiayaan musyarakah yaitu pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua
pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, masing-masing pihak memberikan
kontrbusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung
bersama sesuai dengan kesepakatan.[5]
Sedangkan dalam
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999,
pasal 28 butir b.2.b. sebagaimana dijabarkan dalam lampiran 6 bahwa penyaluran
dana masyarakat dapat dilakukan dalam bentuk musyarakah yaitu akad kerjasama usaha patungan antara dua pihak
atau lebih pemilik modal untuk membiayai suatu jenis usaha yang halal dan
produktif. Pendapatan atau keuntungan
dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati. [6]
Jadi secara istilah
musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha
tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[7]
Skim musyarakah
berbeda dengan sistem bunga dari berbagai aspek. Dalam bank konvensional, bank
membiayai proyek dengan sistem bunga. Hubungan bank dengan resiko
yang mungkin akan menimpa proyek dapat dipastikan tidak ada. Tanggung jawab
hanya dibebankan kepada nasabah. Artinya jika proyek tidak memperoleh
keuntungan, para peminjam tetap berkewajiban untuk mengembalikan pokok pinjaman
berikut bunga kepada pihak bank. Sedangkan dalam musyarakah, semua tanggung jawab,
keuntungan dan kerugian dibagi secara adil kepada bank, investor dan para
penabung sejalan dengan kaidah fiqh : keuntungan
dan kerugian didistribusikan sesuai dengan jumlah modal yang disertakan.[8]
- Landasan Syariah
Dasar hukum syariah yang mendasari konsep
musyarakah ini adalah Al-Qur’an dan Hadits.[9] Ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan
rujukan dasar akad transaksi syarikah, adalah QS. An-Nisa’ ayat 12 juga QS.
Ash-Shaad ayat 24. Sedangkan Hadits-hadits Rasul yang dapat
dijadikan rujukan dasar, adalah :
“Dari hadits Qudsi yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. telah Bersabda, “Allah
swt. telah berkata kepada saya; menyertai dua pihak yang sedang berkongsi
selama salah satu dari keduanya tidak menghianati yang lain, seandainya berkhianat
maka saya keluar dari penyertaan tersebut” ( HR.Abu Dawud
no.2936, dalam kitab al-Buyu, dan Hakim).
Berdasarkan hukum
yang diuraikan di atas, maka secara tegas dapat dikatakan bahwa kegiatan
syirkah dalam usaha diperbolehkan dalam Islam, sebagai dasar hukumnya telah
jelas dan tegas.
Landasan hukum positif tentang musyarakah ini diatur dalam
Undang-Undang No.10 Tahun 1998 dengan aturan pelaksana Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia No. 32/34/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999, pasal 28 butir b.2.b.
sebagaimana dijabarkan dalam lampiran 6, juga terdapat dalam Fatwa Dewan
Syariah Nasional Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000, tanggal 13 April 2000.
Pembiayaan
musyarakah disahkan pada Februari 1996 dan sudah mulai diberlakukan pada
tanggal 1 Januari 1998.
- Rukun,
Syarat dan ketentuan dalam Pembiayaan Musyarakah
Adapun rukun dari akad musyarakah itu sendiri
ada 4, yaitu:
1)
Pelaku
terdiri dari para mitra
2)
Objek
musyarakah berupa modal dan kerja
3)
Ijab
qabul
4)
Nisbah
keuntungan (bagi hasil)
Sedangkan syarat dan ketentuan dalam pembiayaan musyarakah yang dimuat dalam fatwa DSN no. 8 tentang
musyarakah adalah sebagai
berikut:
1) Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan
oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak
(akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penawaran
dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan
dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad
dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan
cara-cara komunikasi modern.
2)
Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan
hal-hal berikut:
a. Kompeten
dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
b. Setiap
mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja
sebagai wakil.
c. Setiap mitra
memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
d. Setiap
mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan
masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah
dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan
kesalahan yang disengaja.
e. Seorang
mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk
kepentingannya sendiri.
3)
Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)
a. Modal
· Modal yang
diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Modal dapat
terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya.
Jika modal berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan
disepakati oleh para mitra.
· Para
pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal
musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
· Pada
prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk
menghindari terjadinya penyimpangan, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat meminta
jaminan.
b. Kerja
· Partisipasi para mitra dalam pekerjaan
merupakan dasar pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja
bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak
dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan
bagi dirinya.
· Setiap
mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari
mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam
kontrak.
c. Keuntungan
· Keuntungan
harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa
pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.
· Setiap
keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh
keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi
seorang mitra.
· Seorang mitra
boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan
atau prosentase itu diberikan kepadanya.
· Sistem
pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.
d. Kerugian
Kerugian harus
dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing
dalam modal.
4)
Biaya Operasional dan Persengketaan
a. Biaya
operasional dibebankan pada modal bersama.
b. Jika salah
satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi
Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
- Jenis Musyarakah
Secara umum, musyarakah terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
1) Musyarakah
permanen (syirkah ‘uqud) adalah musyarakah dengan ketentuan bagian dana setiap mitra
ditentukan sesuai akad dan jumlahnya tetap hingga akhir masa akad. Jenis ini terbagi menjadi empat jenis, yaitu:
a.Inan, yaitu
Usaha bersama (kongsi) dimana modal dan keahlian yang diberikan tidak sama.
b.Mufawadhah,
yaitu Usaha bersama dimana modal dan keahlian yang diberikan sama jumlah dan
kualitasnya.
c. Abdan, yaitu
Usaha bersama dimana modal yang diberikan adalah keahlian/ tenaga.
d. Wujuh, yaitu
Usaha bersama dimana modal yang diberikan adalah nama baik.
2) Musyarakah menurun (musyarakah mutanaqisha) adalah
musyarakah dengan ketentuan bagian dana entitas akan dialihkan secara bertahap
kepada mitra sehingga bagian dana entitas akan menurun dan pada akhir masa akad
mitra akan menjadi pemilik penuh usaha tersebut.
- Mekanisme Pembiayaan Musyarakah dalam Perbankan Syari’ah
Dari sekian banyak jenis musyarakah tersebut diatas hanya syirkah ‘inan yang paling tepat dan
dapat diaplikasikan dalam perbankan syariah. Dimana, bank dan nasabah keduanya
memiliki modal. Modal bank dan modal nasabah digunakan oleh pengelola sebagai
modal untuk mengerjakan proyek. Pendapatan atau keuntungan yang diperoleh dari
proyek dibagikan berdasarkan nisbah yang telah disepakati bersama.[10]
Adapun mekanismenya
yaitu:
·
Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan
bersama-sama menyediakan dana dan/atau barang untuk membiayai suatu kegiatan
usaha tertentu;
·
Nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan Bank sebagai mitra usaha
dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang
disepakati seperti melakukan review, meminta bukti-bukti dari
laporan hasil usaha yang dibuat oleh nasabah berdasarkan bukti pendukung yang
dapat dipertanggungjawabkan;
·
Pembagian hasil usaha dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah
yang disepakati;
·
Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu
investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak;
·
Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan dalam
bentuk uang dan/atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang atau tagihan;
·
Dalam hal Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan
dalam bentuk uang harus dinyatakan secara jelas jumlahnya;
·
Dalam hal Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan
dalam bentuk barang, maka barang tersebut harus dinilai atas dasar harga
pasar (net realizable value) dan dinyatakan secara jelas
jumlahnya;
·
Jangka waktu Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah,
pengembalian dana, dan pembagian hasil usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan
antara Bank dan nasabah;
·
Pengembalian Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah dilakukan
dalam dua cara, yaitu secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir periode
Pembiayaan, sesuai dengan jangka waktu Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah;
·
Pembagian hasil usaha berdasarkan laporan hasil usaha nasabah berdasarkan
bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan; dan
·
Bank dan nasabah menanggung kerugian secara proporsional menurut porsi
modal masing-masing.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
a. Jadi secara istilah musyarakah adalah akad kerja
sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
b. Berdasarkan hukum yang diuraikan di atas, maka
secara tegas dapat dikatakan bahwa kegiatan syirkah dalam usaha diperbolehkan
dalam Islam, sebagai dasar hukumnya telah jelas dan tegas.
c.
Secara
umum, musyarakah terbagi menjadi dua jenis, yaitu: syirkah ‘Uqud dan
Mutanaqisha.
d.
Dari sekian banyak jenis musyarakah tersebut diatas hanya syirkah ‘inan yang paling tepat dan dapat diaplikasikan dalam
perbankan syariah. Dimana, bank dan nasabah keduanya memiliki modal. Modal bank
dan modal nasabah digunakan oleh pengelola sebagai modal untuk mengerjakan
proyek. Pendapatan atau keuntungan yang diperoleh dari proyek dibagikan
berdasarkan nisbah yang telah disepakati bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi
Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997)
Al-Munjid Fi al-Lughah, (Bairut:
Dar al-Masyrik, 1987)
Antonio, M.Syafi'i, Bank Syariah suatu
Pengenalan Umum, Yogyakarta: BI dan Tazkia Institute, 1999
Asmuni, Aplikasi Musyarakah
Dalam Perbankan Islam; Studi Fiqh terhadap Produk Perbankan Islam, Jurnal
Hukum Islam Al-Mawarid, Edisi XI, 2004
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994)
Luqman, Sistem Pembiayaan Musyarakah dan Pengaruhnya Terhadap
Pertumbuhan Usaha, Tesis Magister Studi Islam Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Indonesia, 2006
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut
Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan
Implementasi Operasional Bank Syariah, (Jakarta : Djambatan, 2001)
[1] Al-Munjid Fi al-Lughah, (Bairut: Dar al-Masyrik, 1987), h. 384. lihat juga
Ahmad Warson Munawir, Kamus Bahasa
Arab-Indonesia al-Munawir, (Yogyakarta: Unit Pengadaan buku-buku Ilmiah
keagamaan Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, 1984), h. 765
[2] Asmuni, Aplikasi Musyarakah Dalam Perbankan Islam;
Studi Fiqh terhadap Produk Perbankan Islam, Jurnal Hukum Islam Al-Mawarid,
Edisi XI, 2004, h. 160
[3] Abdul Aziz
Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam,
(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 1711
[6] Luqman, Sistem
Pembiayaan Musyarakah dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Usaha, Tesis
Magister Studi Islam Program Pasca Sarjana Universitas Islam Indonesia, 2006, h.44
[7] Muhammad
Syafi’I Antonio, Bank Syariah…, h.
90. lihat juga Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), h. 74
[8] Asmuni Mth, Aplikasi Produk Musyarakah Ditinjau dari
Aspek Fiqh dan Tantangannya, tulisan bebas yang tidak diterbitkan.
[9] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank
Syariah…, h. 90-91. lihat juga Muhamad, Sistem
& Prosedur Operasional Bank Syariah, Cet.1, (Yogyakarta: UII Press,
2000), h. 10. juga dalam Muhamad, Teknik
Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin pada Bank Syariah, (Yogyakarta:
UII Press, 2004), h. 27-28
[10] Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional
Bank Syariah, (Jakarta : Djambatan, 2001), h. 184
Tidak ada komentar:
Posting Komentar