Arsip Blog

Senin, 11 April 2016

MAKALAH PEMBIAYAAN MUSYARAKAH

PEMBIAYAAN MUSYARAKAH
Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah :
Hukum Perbankan Syari’ah
Dosen Pembimbing :
Alwi Muzaiyin, M.E., Sy.








PENYUSUN:
MUHAMMAD ISNAN : 130800058




INSTITUT AGAMA ISLAM TRIBAKTI (IAIT) KEDIRI
FAKULTAS SYARIAH
MANAJEMEN PERBANKAN SYARIAH (MPS) SEMESTER V
PERIODE : 2015-2016



BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang masalah
Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk berusaha, termasuk melakukan kegiatan-kegiatan bisnis. Dalam kegiatan bisnis, seseorang dapat merencanakan suatu dengan sebaik-baiknya agar dapat menghasilkan sesuatu yang diharapkan, namun tidak ada seorangpun yang dapat memastikan hasilnya seratus persen. Suatu usaha, walaupun direncanakan dengan sebaik-baiknya, namun tetap mempunyai resiko untuk gagal. Faktor ketidakpastian adalah faktor yang sudah menjadi sunnatullah.
Total pembiayaan di perbankan syariah masih didominasi oleh jual-beli (murabahah) sedangkan skim bagi hasil masih rendah. Rendahnya pembiayaan bagi hasil (musyarakah) jelas bukanlah kondisi ideal yang diinginkan, karena sektor riil dapat digerakkan melalui pembiayaan dengan prinsip bagi hasil. Prinsip bagi hasil ini merupakan salah satu prinsip utama dalam kegiatan ekonomi berbasis syariah.
Sebenarnya peluang bank syariah untuk meningkatkan kinerja dan usahanya ada pada pengembangan produk pembiayaan bagi hasil, sekaligus sebagai tantangan bagi bank syariah dalam meningkatkan efektivitas kinerjanya. Bank-bank syariah seharusnya selain membuat strategi khusus agar porsi pembiayaan bagi hasil meningkat juga harus disertai upaya-upaya peminimalisasian kendala-kendala yang dihadapi.
Dalam  tulisan  ini, penulis menjabarkan tentang betapa pentingnya tantangan dalam pengembangan perbankan syariah antara lain melalui pengembangan produk pembiayaan khususnya musyarakah, jadi akan dilihat Bagaimana transaksi skim musyarakah pada perbankan Syari’ah? Dan  apakah pelaksanaan transaksi skim musyarakah  pada Bank Syari’ah tersebut telah sesuai dengan langkah-langkah yang ditetapkan secara teoritis sehingga dapat diperoleh hasil seperti yang diharapkan?
Salah satu paradigma keberadaan bank syariah adalah dapat memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui pembiayaan ini bank syariah memposisikan diri sebagai mitra bagi nasabah, sehingga hubugan bank syariah ini tidak lagi antara kreditur dan debitur melainkan hubungan kemitraan.

  1. Rumusan Masalah
ü  Apa yang dimaksud dengan musyarakah?
ü  Bagaimanadasar hukum, Rukun dan Syarat Musyarakah?
ü  Apa saja jenis Musyarakah?
ü  Bagaimana  mekanisme pembiayaan musyarakah dalam perbankan syari’ah?



BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian Pembiayaan Musyarakah
Musyarakah berasal dari kata syarika yang berarti persekutuan.[1] Secara etimologi as-syarikah atau al-musyarakah mengndung makna al-ikhtilāt wa al-imtijāz yaitu percampuran. Dalam lisan al-’Arab disebutkan as-syirkah dan as-syarikah mengandung makna yang sama mukhalaṭatu as-syarikaini (bercampur atau bergabungnya dua orang) untuk melalukan kerja sama.[2]
Menurut ulama Malikiyah, Syirkah (musyarakah) adalah suatu izin untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka. Dalam mazhab Syafi’i dan Hambali diuraikan bahwa syirkah adalah hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati. Sedangkan mazhab Hanafi mendefinisikan syirkah yang berupa akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama dengan modal dan keuntungan.[3] Dikemukakan pula dengan adanya akad syirkah yang disepakati kedua belah pihak, maka semua pihak yang mengikat diri berhak bertindak hukum terhadap harta syarikat itu dan berhak mendapatkan keuntungan sesuai yang disepakati.[4]
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000, tanggal 13 April 2000, bahwa kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan usaha terkadang memerlukan dana dari pihak lain, antara lain melalui pembiayaan musyarakah yaitu pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, masing-masing pihak memberikan kontrbusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[5]
Sedangkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999, pasal 28 butir b.2.b. sebagaimana dijabarkan dalam lampiran 6 bahwa penyaluran dana masyarakat dapat dilakukan dalam bentuk musyarakah yaitu akad kerjasama usaha patungan antara dua pihak atau lebih pemilik modal untuk membiayai suatu jenis usaha yang halal dan produktif. Pendapatan atau keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati. [6]
Jadi secara istilah musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[7]
Skim musyarakah berbeda dengan sistem bunga dari berbagai aspek. Dalam bank konvensional, bank membiayai proyek dengan sistem bunga. Hubungan bank dengan resiko yang mungkin akan menimpa proyek dapat dipastikan tidak ada. Tanggung jawab hanya dibebankan kepada nasabah. Artinya jika proyek tidak memperoleh keuntungan, para peminjam tetap berkewajiban untuk mengembalikan pokok pinjaman berikut bunga kepada pihak bank. Sedangkan dalam musyarakah, semua tanggung jawab, keuntungan dan kerugian dibagi secara adil kepada bank, investor dan para penabung sejalan dengan kaidah fiqh : keuntungan dan kerugian didistribusikan sesuai dengan jumlah modal yang disertakan.[8]

  1. Landasan Syariah
Dasar hukum syariah yang mendasari konsep musyarakah ini adalah Al-Qur’an dan Hadits.[9] Ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan rujukan dasar akad transaksi syarikah, adalah QS. An-Nisa’ ayat 12 juga QS. Ash-Shaad ayat 24. Sedangkan Hadits-hadits Rasul yang dapat dijadikan rujukan dasar, adalah :
“Dari hadits Qudsi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. telah Bersabda, “Allah swt. telah berkata kepada saya; menyertai dua pihak yang sedang berkongsi selama salah satu dari keduanya tidak menghianati yang lain, seandainya berkhianat maka saya keluar dari penyertaan tersebut” ( HR.Abu Dawud no.2936, dalam kitab al-Buyu, dan Hakim).
Berdasarkan hukum yang diuraikan di atas, maka secara tegas dapat dikatakan bahwa kegiatan syirkah dalam usaha diperbolehkan dalam Islam, sebagai dasar hukumnya telah jelas dan tegas.
Landasan hukum positif tentang musyarakah ini diatur dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998 dengan aturan pelaksana Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999, pasal 28 butir b.2.b. sebagaimana dijabarkan dalam lampiran 6, juga terdapat dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000, tanggal 13 April 2000.
Pembiayaan musyarakah disahkan pada Februari 1996 dan sudah mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1998.

  1. Rukun,  Syarat dan ketentuan dalam Pembiayaan Musyarakah
Adapun rukun dari akad musyarakah itu sendiri ada 4, yaitu:
1)      Pelaku terdiri dari para mitra
2)      Objek musyarakah berupa modal dan kerja
3)      Ijab qabul
4)      Nisbah keuntungan (bagi hasil)
Sedangkan syarat dan ketentuan dalam pembiayaan musyarakah yang dimuat dalam fatwa DSN no. 8 tentang musyarakah adalah sebagai berikut:
1)      Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
2)      Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
b. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.
c. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
d. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
e. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
3)      Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)
a. Modal
· Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra.
· Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
· Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat meminta jaminan.
b. Kerja
·  Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
· Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.
c. Keuntungan
· Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.
· Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
· Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya.
· Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.
d. Kerugian
Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.
4)      Biaya Operasional dan Persengketaan
a. Biaya operasional dibebankan pada modal bersama.
b. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

  1. Jenis Musyarakah
Secara umum, musyarakah terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
1) Musyarakah permanen (syirkah ‘uqud) adalah musyarakah dengan ketentuan bagian dana setiap mitra ditentukan sesuai akad dan jumlahnya tetap hingga akhir masa akad. Jenis ini terbagi menjadi empat jenis, yaitu:
a.Inan, yaitu Usaha bersama (kongsi) dimana modal dan keahlian yang diberikan tidak sama.
b.Mufawadhah, yaitu Usaha bersama dimana modal dan keahlian yang diberikan sama jumlah dan kualitasnya.
c. Abdan, yaitu Usaha bersama dimana modal yang diberikan adalah keahlian/ tenaga.
d. Wujuh, yaitu Usaha bersama dimana modal yang diberikan adalah nama baik.
2) Musyarakah menurun (musyarakah mutanaqisha) adalah musyarakah dengan ketentuan bagian dana entitas akan dialihkan secara bertahap kepada mitra sehingga bagian dana entitas akan menurun dan pada akhir masa akad mitra akan menjadi pemilik penuh usaha tersebut.

  1. Mekanisme  Pembiayaan Musyarakah dalam Perbankan Syari’ah
Dari sekian banyak jenis musyarakah tersebut diatas hanya syirkah ‘inan yang paling tepat dan dapat diaplikasikan dalam perbankan syariah. Dimana, bank dan nasabah keduanya memiliki modal. Modal bank dan modal nasabah digunakan oleh pengelola sebagai modal untuk mengerjakan proyek. Pendapatan atau keuntungan yang diperoleh dari proyek dibagikan berdasarkan nisbah yang telah disepakati bersama.[10]
Adapun mekanismenya yaitu:
·           Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan bersama-sama menyediakan dana dan/atau barang untuk membiayai suatu kegiatan usaha tertentu;
·           Nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan Bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati seperti melakukan review, meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha yang dibuat oleh nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan;
·           Pembagian hasil usaha dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati;
·           Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak;
·           Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang atau tagihan;
·           Dalam hal Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan dalam bentuk uang harus dinyatakan secara jelas jumlahnya;
·           Dalam hal Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan dalam bentuk barang, maka barang tersebut harus dinilai atas dasar harga pasar (net realizable value) dan dinyatakan secara jelas jumlahnya;
·           Jangka waktu Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah, pengembalian dana, dan pembagian hasil usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan antara Bank dan nasabah;
·           Pengembalian Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah dilakukan dalam dua cara, yaitu secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir periode Pembiayaan, sesuai dengan jangka waktu Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah;
·           Pembagian hasil usaha berdasarkan laporan hasil usaha nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan; dan
·           Bank dan nasabah menanggung kerugian secara proporsional menurut porsi modal masing-masing.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
a.       Jadi secara istilah musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
b.      Berdasarkan hukum yang diuraikan di atas, maka secara tegas dapat dikatakan bahwa kegiatan syirkah dalam usaha diperbolehkan dalam Islam, sebagai dasar hukumnya telah jelas dan tegas.
c.       Secara umum, musyarakah terbagi menjadi dua jenis, yaitu: syirkah ‘Uqud dan Mutanaqisha.
d.      Dari sekian banyak jenis musyarakah tersebut diatas hanya syirkah ‘inan yang paling tepat dan dapat diaplikasikan dalam perbankan syariah. Dimana, bank dan nasabah keduanya memiliki modal. Modal bank dan modal nasabah digunakan oleh pengelola sebagai modal untuk mengerjakan proyek. Pendapatan atau keuntungan yang diperoleh dari proyek dibagikan berdasarkan nisbah yang telah disepakati bersama.







DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997)
Al-Munjid Fi al-Lughah, (Bairut: Dar al-Masyrik, 1987)
Antonio, M.Syafi'i, Bank Syariah suatu Pengenalan Umum, Yogyakarta: BI dan Tazkia Institute, 1999
Asmuni, Aplikasi Musyarakah Dalam Perbankan Islam; Studi Fiqh terhadap Produk Perbankan Islam, Jurnal Hukum Islam Al-Mawarid, Edisi XI, 2004
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994)
Luqman, Sistem Pembiayaan Musyarakah dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Usaha, Tesis Magister Studi Islam Program Pasca Sarjana Universitas Islam Indonesia,  2006
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, (Jakarta : Djambatan, 2001)




[1] Al-Munjid Fi al-Lughah, (Bairut: Dar al-Masyrik, 1987), h. 384. lihat juga Ahmad Warson Munawir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia al-Munawir, (Yogyakarta: Unit Pengadaan buku-buku Ilmiah keagamaan Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, 1984), h. 765
[2] Asmuni, Aplikasi Musyarakah Dalam Perbankan Islam; Studi Fiqh terhadap Produk Perbankan Islam, Jurnal Hukum Islam Al-Mawarid, Edisi XI, 2004, h. 160
[3] Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 1711
[4] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007), h. 166
[5] Ibid  h. 166
[6] Luqman, Sistem Pembiayaan Musyarakah dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Usaha, Tesis Magister Studi Islam Program Pasca Sarjana Universitas Islam Indonesia,  2006, h.44
[7] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah…, h. 90. lihat juga Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), h. 74
[8] Asmuni Mth, Aplikasi Produk Musyarakah Ditinjau dari Aspek Fiqh dan Tantangannya, tulisan bebas yang tidak diterbitkan.
[9] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah…, h. 90-91. lihat juga Muhamad, Sistem & Prosedur Operasional Bank Syariah, Cet.1, (Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 10. juga dalam Muhamad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin pada Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 27-28
[10] Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, (Jakarta : Djambatan, 2001), h. 184

Tidak ada komentar:

Posting Komentar